Oleh: Adie | September 19, 2010

Indonesian Cultural Mask Festival 2010

6 Oktober 2010 – malam hari Dilaksanakan di Panggung Budaya “Cilimus 1928” Prima Resor Sangkanhurip, Kuningan, merupakan puncak perayaan FESTIVAL TOPENG NUSANTARA 2010. Gala pertunjukan dan makan malam yang dikemas dengan ekslusive.Tamu undangan, seperti tamu kenegaraan, kedutaan, budayawan, institusi budaya dll, akan bersama menikmati pagelaran spektakuler dari Coreography, Stage Act, Music, Lighting dan Multimedia.

INDONESIAN CULTURAL MASK FESTIVAL 2010 ( MAIN EVENT )
October 16th 2010-Evening Time The program will be held at The Cultural Stage “Cilimus 1928” at Prima resort SangkanhuripKuningan. The program is a main event of the INDONESAN CULTURAL MASKS FESTIVAL 2010. Gala performances and dinner that are exclusively presented with spectacular performances from Coreography, Stage Act, Live Music, Lighting and Multimedia, and will be attended by invited guests from the state, embassies, cultural institutions, art lover, etc.


Participants :

Gundala-gundala Mask Dance
North Sumatera
This mask dance was adopted from a ritual prayer for the spirits of
the gods. To cleanse evil spirits from a village that is attacked by a pandemic or pest plagues. The dancers use varied kinds of masks in order for the gods to inhabit their bodies and expel the evil spirits. The musical instruments accompanying Gundala-Gundala Mask Dance are Ketengketeng, Serunai, Gendang drums, small and large Gongs, Kecapi flute and brass.




Hudoq Mask Dance

East Kalimantan

This mask dance comes from the Dayak Kenyah and Dayak Modang tribes. This dance is usually performed as an exorcism ritual in traditional ceremonies, such as the ceremonial growing season. The Hudog Mask Dance contains a meaning in every movement. The dance choreography has meaning in every single move and characters which are diversified in line with the ritual of the ceremony.






Cupak Gerantang Traditional Theatre
West Nusa Tenggara

Cupak Gerantang Traditional Theatre is one of the folklore in Lombok, West Nusa Tenggara. It is very popular in the society as a light entertainment that is performed and staged in special events. The original manuscript was written on papyrus with Jejawan letters and the Sasak language. The content derived from a story that was told in a song, and then improved as a written story that was composed in a traditional theatre to be better by the public. The story artistically dramatizes a patriotic hero that is sometimes interspersed with humor. The story expands to other Lombok islands, such as Mataram, Labuh Api, Bayan, Gangga, Lenek, and other villages. Cupak Gerantang story illustrates the evil, lazy and spiteful characteristics of the Cupak, while the noble, honest, bold and handsome knight is illustrated the characteristics of Gerantang.


Tenget Mask Dance
Bali
When Gajah Mada went to King Bali, he was very disappointed because King Bali’s face was very “Tenget” (daunting, yet divine, and cannot be seen). Gajah Mada asked for water spinach that is not cut so that he can tilt his head up to look at the king while eating the vegetable. The king acknowledged his trick and was raged onto executing a war between his soldier and Gajah Mada.






Guro Gudho Mask Dance
East Java
The journey of life for greatness will surely have many obstacles. However, in the laws of nature, the unjust will always be defeated by righteousness. In the legendary story of East Java, a Sudra caste warrior was searching for the knowledge of supernatural power, sorcery, and the constitution. In his journey, the warrior was tested with unjust circumstances but if everything is done based on sincerity, then the Guro Gudho (the unjust) is eliminated.






Gandrung Mask Dance
Central Java

Falling in love is normal and human that everyone will experience. The happiness, excitement, sincerity, emotions, humors, sadness and morality are all contained in love. This is what implied in love between two human beings. Those feelings were poured into a work of a dance mask of Gagah, Alus, Gecul and Putri.






Cirebon Mask Dance
West Java
The Mask Dance was developed and expanded among the people of Cirebon and around the area before the Islamic religion entered. Sunan Kalijaga took advantage of the dance as a missionary endeavor to spread the Islamic religion. Therefore, many of the Cirebon mask are imbued by Islamic philosophies. The Cirebon Mask Dance has five dance principles, namely Panji, Samba, Rumyang, Tumenggung and Rahwana (Klana). Those five dances stand alone and are not biased if united with each other. All five have different characteristic and accompanied with different instruments.



Tunggal Mask Dance
Jakarta
Derived from a Betawi traditional mask art, Tunggal Mask is a classic Betawi Mask Dance which tells a human being with 3 personality traits that are disclosed in 3 mask characters, Panji, Kelana and Jingga. A calm and soft spoken personality is depicted in the mask of Panji. The flirtatious and mercurial personality is depicted in the mask of Kelana, and the mask of Jingga is characterized in a heroic, bold and resolute manner. These three characters are combined in the Betawi Mask Dance.




Sumber : http://www.topengnusantara.com

Oleh: Adie | September 19, 2010

Galeri Topeng Indonesia

Oleh: Adie | September 18, 2010

Topeng Malang dari Dusun Glagahdowo

Empatbelas kilometer arah timur Kota Malang, satu dusun didiami oleh empat dari sedikit seniman tradisi topeng Malangan yang tersisa sampai detik ini. Glagahdowo nama dusun itu. Satu dari empat seniman yang masih eksis itu, Soetrisno (64), berinisiatif mengabarkan dinamika keberadaan kesenian mereka melalui tulisan tangan putrinya. Upaya revitalisasi yang sangat sederhana dari sebentuk kebudayaan khas ini jauh dari hingar bingar seminar kebudayaan, analisa budaya pada massmedia, jargon-jargon LSM dan yayasan dibidang kebudayaan, apalagi retorika kancah politik yang sedang membahana di layar televisi setiap hari. Begitu sunyi. Sebagai soliloque (artinya kurang lebih hampir sama dengan ngunandiko dalam istilah Jawa, yang berarti menggumam sendiri dalam hati) yang melindap diam-diam pada kesadaran normatif publik Malang; pemilik kesenian tradisi tersebut. Berikut tulisan yang direvisi seperlunya oleh redaksi – karena kekhilafan aksarawi tanpa bermaksud mengubah intisari dari maksud sebenarnya.

Keunikan-keunikan dari seni drama tari topeng Malang khususnya yang ada di Dusun Glagahdowo, Kecamatan Tumpang.
Pada umumnya pelaku atau pemain seni drama tari topeng bisa memerankan berbagai karakter tokoh topeng, sebut saja mbah Rasimoen (alm), beliau tidak hanya mahir membawakan gerak tari gunung sari atau memerankan karakter tokoh Gunungsari tetapi beliau juga bisa memerankan karakter tokoh-tokoh lain, misalnya : ratu atau raja jenggala, patih, dsb. Mbah Gimun, selain mahir memerankan karakter tokoh Klono (raja Sabrang), beliau juga bisa memerankan tokoh Bapang, emban, dsb. Dan Mbah Jakimin, selain mahir memerankan tokoh pendeta, beliau juga bisa memerankan karakter tokoh wanita, seperti Dewi Sekartaji, Dewi Ragil Kuning, dsb.

Kalau melihat semacam itu, tentu kita bisa menyimpulkan dengan jelas bahwa mereka belajar atau berkecimpung dalam paguyuban seni drama tari topeng tidak hanya setahun atau dua tahun bahkan bisa sampai berpuluh-puluh tahun, meninjau dari usia mereka yang saat ini rata-rata sudah menginjak 75-80 tahun. Dan di usia mereka yang sudah menjelang senja tentunya mereka mempunyai kenangan fenomena tersendiri dalam proses berkesenian terutama dalam seni drama tari topeng Malang. Saat ini yang menjadi masalah adalah kerprihatinan mereka dalam melestarikan atau mencari regenerasi baru untuk kehidupan komunitas seni drama tari topeng Malang yang akan datang. Yang mereka resahkan, masih adakah anak muda di jaman sekarang ini yang masih mau peduli terhadap kesenian tradisi khususnya seni drama tari topeng Malangan yang dirasa sudah dalam keadaan kembang kempis dan akankah seni drama tari topeng Malang bisa tetap eksis ditengah-tengah era globalisasi saat ini.

Di sebuah komunitas yang mempunyai nama Sri Margo Utomo, tepatnya di Dusun Glagahdowo, Kecamatan Tumpang masih ada dua orang personil pemain drama tari topeng Malang, beliau adalah Mbah Gimun dan Mbah Jakimin. Di usia beliau yang bisa dibilang sudah sepuh tetapi beliau masih mempunyai semangat seperti anak muda dalam melestarikan kesenian drama tari topeng Malang, satu misal beliau masih mau memberi pengarahan-pengarahan dan dorongan semangat pada para penari topeng Malang, khususnya yang ada di Dusun Glagahdowo, Kecamatan Tumpang. Sri Margo Utomo memulai kiprahnya berkesenian kira-kira dari tahun 1939 sampai sekarang. Meskipun saat ini peronilnya tinggal dua orang. Berikut ini adalah biografi pemain drama topeng yang ada dipaguyuban tersebut.

Nama : Mbah Gimoen
Tempat / Tgl lahir : Malang, 1924
Beliau belajar dan berkecimpung dalam dunia seni drama tari topeng malang dari tahun 1939 sampai sekarang, menurut beliau pada waktu itu drama tari topeng tidak hanya sebagai seni pertunjukan saja tetapi juga sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dan masyarakat pada waktu itu juga sangat peduli dan benar-benar menghargai seni pertunjukan drama tari topeng. Wujud dari kepedulian mereka adalah dengan mengundang dan mendatangkan rombongan kesenian drama tari topeng pada acara acara hajatan misalnya manten, sunatan, entas-entas orang tengger (selamatan untuk yang sudah meninggal / kirim doa) dll. Mbah Gimun adalah pemeran tetap karakter tokoh topeng Kelono (Raja Sabrang) dan sampai sekarang pula tari Kelono pula yang selalu diajarkan pada anak didiknya.

Nama : Mbah Jakimin
Tempat / Tgl lahir : Malang, 1923
Sama seperti mbah Gimun, Mbah Jakimin berkecimpung di dunia seni drama tari topeng malang sejak tahun 1939 sampai sekarang. Meskipun saat ini beliau tidak aktif lagi diatas panggung Mbah Jakimin adalah pemeran yang mempunyai multi fungsi dalam setiap pertunjukan. Beliau tidak hanya bisa memerankan karakter tokoh wanita atau dewa tapi juga karakter tokoh-tokoh yang lainnya.
Adapun beberapa personil lain yang sudah almarhum yakni Mbah Rasimoen, Mbah Sueb, Mbah Lostari, Mbah Warno, Mbah Bilal, Mbah Roselin, Mbah Saruwi, Mbah Rakim.

Masih menurut Mbah Jakimin dan Mbah Gimoen, bahwa ditahun 1939 saat memulai kiprahnya di dunia seni drama tari topeng malang, bangsa Indonesia masih dalam masa penjajahan, dan perekonomian Indonesia juga masih sangat hancur. Bisa dibilang waktu itu rakyat Indonesia juga merasakan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan rombongan kesenian inipun saat itu merasakan hal yang sama.

Lalu ada tokoh seniman tari topeng yang bernama pak Item (pak Kasimun) yang mempunyai ide mengumpulkan anak didiknya untuk mbarang/ngamen kedaerah daerah Tengger demi memenuhi kebutuhan hidup mereka masing-masing yang termasuk terlibat didalamnya adalah Mbah Gimun, Mbah Rasimun, Mbah Jakimin, Mbah Paran, Mbah Bilal, Mbah Jari, Mbah Samud, dan Mbah Lostari, dalam perjalanannya tidak sedikit hal yang menjadi kendala buat mereka, karena belum ada fasilitas tranportasi maka mereka harus rela berjalan kaki sekaligus membawa peralatan topeng selengkapnya. Dan tidak mereka tidur di tengah hutan dengan hanya beralaskan daun cemara karena kemalaman di jalanan. Mereka juga rela menahan lapar dan haus ketika dalam perjalanan.

Kalaupun ada orang yang mau mempersilahkan mereka untuk mampir kesalah satu rumah penduduk, barulah mereka bisa makan dan minum, itupun seadanya, sesuai dengan keadaan yang punya rumah, biasanya hanya sekedar kopi, jagung rebus atau kentang rebus, singkong bakar, sayur kubis, kadang ada juga yang mempersilahkan mereka mampir sekaligus menyuruh mereka main (nanggap) dan memberi upah. Pada waktu itu upah mereka hanya dua sen untuk satu orang dan upah dua sen waktu itu sudah cukup untuk beli nasi bungkus. Tapi kalau dibandingkan dengan uang sekarang dua sen ternyata nilainya masih kurang dari 100 rupiah uang sekarang. Jarak perjalanan yang mereka tempuh pun sangat jauh yakni mereka berangkat dari Tumpang ke Gubug Klakah, dari Gubug Klakah ke Ngadas, dari Ngadas ke Ngadiwono, dari Ngadiwono ke Ledokombo, jadi terhitung dari kabupaten malang sampai kebupaten Probolinggo, tidak hanya sampai di Probolinggo mereka juga pernah melakukan perjalanan dari Tumpang ke Gubugklakah, dari Gubugklakah ke Ranu Pani (arah ke puncak gunung Semeru), lalu dari Ranupane ke Nggedok, atau tepatnya dari kabupaten Malang ke kabupaten Lumajang.

Didalam perjalanan mereka masih sempat melestarikan seni drama tari topeng dengan cara mengajari orang-orang dan anak-anak disekitar tempat mereka singgah untuk istirahat. Jadi keberadaan kesenian tari topeng tidak hanya ada dikabupaten Malang saja tapi juga ada di kabupaten Probolinggo dan kabupaten Lumajang.

Inilah sekapur sirih perjalanan hidup seniman drama tari topeng malang di masa lampau, dan melalui cerita ini beliau mempunyai harapan yang besar pada kita, generasi muda. Yang mereka harapkan ialah rasa peduli kita terhadap suka-duka mereka dalam perjalanan hidup berkesenian dan kesediaan kita untuk menyimak keluh-kesah mereka dalam usahanya melestarikan kesenian tradisi khususnya seni drama tari topeng malang

Nara sumber :

Sutrisno
Mbah Gimun
Mbah Jakimin

(tulisan Dwi Wahyu Asmarani, dusun glagahdowo diketik ulang oleh hisyam mawardie, yayak marsose)

Jaya, yayak, setiawira
Litbang Dewan Kesenian Malang

sumber : http://bumisegoro.wordpress.com/

Older Posts »

Kategori